Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Teh Ayu
● online
Teh Neng
● online
Teh Ayu
● online
Halo, perkenalkan saya Teh Ayu
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

Beranda » Blog » Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar

Diposting pada 22 Juni 2024 oleh manggustore / Dilihat: 288 kali / Kategori:

Sejauh ini Amin al-Khuli (1895-1966) dapat dianggap sebagai tokoh paling menonjol sekaligus peletak dasar tafsir bercorak sastra (adabi) di era modern. Corak adabi dalam tafsir kerap pula disebut corak bayani. Yaitu tafsir yang banyak memperhatikan aspek-aspek balaghah (keindahan bahasa al-Qur’an) sebagai pendekatan dalam mengungkap isi-kandungan al-Qur’an.

Al-Khuli sendiri berpandangan bahwa al-Qur’an merupakan “Kitab Sastra Terbesar.” Pandangan inilah, kata al-Khuli, yang pertama-tama
harus kita pedomani ketika berinteraksi dengan al-Qur’an. Al-Khuli berpendapat bahwa pengaruh terbesar dari “Kitab Sastra Terbesar” itu adalah pengaruh sastra. Al-Qur’an berperan besar melanggengkan bahasa Arab serta menjaga eksistensinya.

Sedemikian penting dan sentralnya pendekatan sastra dalam tafsir, sampai-sampai al-Khuli berkeyakinan bahwa model kajian tafsir yang kita perlukan hari ini adalah kajian sastra. Tentu saja kajian kesastraan terhadap tafsir yang dimaksud oleh al-Khuli itu haruslah mengikuti metode yang sahih, jalan yang mapan, dan tujuan yang lurus.

Menyebut al-Qur’an sebagai “Kitab Sastra” sama sekali tidak mengecilkan keagungannya, tidak dimaksudkan untuk mempersempit keluasannya. Justru itu merupakan sebuah pengakuan bahwa al-Qur’an dengan segala kesempurnaan isi-kandungannya, dengan semua kelengkapan ajaran yang diusungnya, dengan segala keluhuran pesan moral yang dibawanya; dengan semua itu ia tetap mampu menjaga keindahan bahasa yang dengannya ia berkomunikasi.

Dalam keseharian, tak jarang sebuah pesan kurang bisa tersampaikan bukan karena tidak baiknya pesan itu, melainkan karena kurang baiknya bahasa yang digunakan. Sebagai Kitab Suci, tentu al-Qur’an “menyadari” hal itu. Terlebih ia turun di tengah sebuah bangsa yang terkenal sudah sangat maju dalam hal berbahasa. Seandainya saja bahasa al-Qur’an “asal-asalan”, alih-alih menjadi pusat perhatian yang menarik dan menakjubkan, malah jadi bahan olok-olok dan lelucon yang memalukan.

corak sastra tafsir alquran webstore

Kembali ke al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar. Dalam hal ini saya akan banyak mengutip tulisan M. Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Judul Kata Pengantar ini memang saya ambilkan dari judul buku tersebut. Telah dikatakan bahwa pendekatan susastra al-Qur’an dimotori oleh Amin al-Khuli di paruh akhir abad keduapuluh. Keseriusan al-Khuli dalam mengkaji al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajiannya atas bahasa dan sastra Arab.

Banyak tulisan al-Khuli yang membahas bahasa dan sastra. Dua di antaranya Fi al-Adab al-Mishri dan Fann al-Qaul. Di kedua buku ini al-Khuli mendekonstruksi wacana sastra Arab. Dua metode kajian sastra diajukan dalam dua buku ini: metode kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji) dan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili). Duaduanya berangkat dari keyakinan al-Khuli tentang pentingnya pemahaman turats secara total dan pentingnya menghidupkan budaya kritik atasnya. Jika keyakinan ini sudah dimiliki, barulah kita bisa bicara tentang pembaharuan.

Setelah mengarahkan perhatiannya terhadap sastra dan kesusatraan Arab secara umum, al-Khuli kemudian mengarahkan perhatiannya terhadap studi-studi al-Qur’an. Di bidang yang disebut terakhir, al-Khuli menawarkan metode tafsir susastra: Tafsir Susastra terhadap al-Qur’an (al-tafsir al-adabi li al-Qur’an).

Sasaran metode ini adalah mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari kecenderungankecenderungan individual-ideologis. Pertama-tama al-Khuli menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar. Penempatan ini berimplikasi bahwa sebelum studi al-Qur’an diselenggarakan, terlebih dahulu al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Jika seseorang ingin mendapatkan pemahaman yang proporsional tentang al-Qur’an, ia harus mengambil pendekatan sastra.

Tidak dapat ditampik bahwa secara historis al-Qur’an diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Bahasa Arab, dengan demikian, merupakan “kode” yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya. Dari sini maka kearaban alQur’an harus diperhatikan terlebih dulu sebelum hal-hal lain. Tafsir sastra atas al-Qur’an yang ditawarkan al-Khuli mengajukan dua langkah metodologis: Kajian sekitar teks (ma haula al-Qur’an), dan kajian tentang teks itu sendiri (fi al-Qur’an nafsih).

Gaya Bahasa Majaz dalam Perspektif alQuran

Buku Gaya Bahasa Majaz dalam Perspektif alQuran karya Hasani Ahmad Said

Yang pertama melakukan penelusuran latar belakang al-Qur’an mulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta kodifikasi dan variasi cara baca. Termasuk pula aspek sosio-historis alQur’an yang meliputi situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ketujuh ketika al-Qur’an turun. Singkatnya, kajian sekitar teks menyasar aspek-aspek historis sosial, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ketujuh sebagai objek langsung teks wahyu.

Dengan melibatkan aspek-aspek humaniora dalam kajian al-Qur’an seperti tersebut di atas, al-Khuli sedang menyadarkan kita bahwa memahami wahyu tanpa melibatkan ilmu-ilmu humaniora yang selalu berkembang akan menyulitkan kita untuk sampai ke makna yang diinginkan teks.

Harus segera diingkatkan bahwa hal ini sama sekali tidak menghilangkan sakralitas teks al-Qur’an. Pelibatan cabang-cabang humaniora justru untuk mempertegas bahwa dalam saktralitasnya yang tetap terpelihara, teks-teks itu hidup secara dinamis dan responsif terhadap dinamika realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis dari teks (wahyu).

Di titik ini al-Khuli bertemu dengan pemikiran tafsir Muhammad ‘Abduh yang mengedepankan sosiologi (‘ilm ahwal al-basyar) dan dengan proposal pemikiran Fazlur Rahman yang menekankan historisitas dan kontekstualitas al-Qur’an agar mendapatkan pemahaman menyeluruh tentangnya.

Kemudian yang kedua, yakni kajian tentang teks itu sendiri (fi al-Qur’an nafsih). Tentang hal ini, al-Khuli mengawali dengan investigasi terhadap kata-kata individual al-Qur’an (mufradat), sejak pertama diwahyukan, perkembangan, serta penggunaannya dalam al-Qur’an, dengan tujuan agar kata-kata itu dapat dipahami secara totalitas.

Setelah mufradat, al-Khuli melanjutkan ke katakata majemuk (murakkabah). Sudah barang tentu, analisis-analisis al-Khuli dalam kajian ini tidak lepas dari ilmu gramatika dan balaghah. Hanya saja, dua ilmu ini “dipinjam” sekadar untuk meneguhkan keindahan sastra teks.

Pengakuan Bint al-Syathi tentang metode yang diajukan al-Khuli menutup Kata Pengantar ini. Kata Bint al-Syathi, prinsip metodologis dalam tafsir yang dikembangkan al-Khuli ini merupakan cara pemahaman yang objektf. Metode ini dicurahkan untuk mengkaji entitas tunggal di dalam al-Qur’an, sehingga dari sini, semua ayat dalam al-Qur’an yang berbicara mengenai objek tertentu dibawa bersama agar penggunaan kosa kata dalam alQur’an tersebut, serta strukturnya, dapat dipahami.

Metode penafsiran ini berbeda dengan metode penafsiran surat per surat di mana kosa kata maupun kalimat dalam ayat dilihat secara terpisah dari konteks pembicaraan yang spesifik, yang diperjelas pula oleh konteks umum. Untuk itu, model penafsiran ayat per ayat dan surat per surat seperti lazimnya dilakukan oleh para mufassir dalam pelbagi karya tafsir mereka, tidak akan mampu memahami secara utuh kosa-kosa kata yang digunakan al-Qur’an.

Ulama Tafsir Nusantara

Saya tambahkan. Al-Khuli, dengan metode tafsir al-Qur’an yang diajukannya, mengajak kita untuk menyelami kedalaman makna dan keluhuran pesan al-Qur’an dengan berbekal dua peranti secara bersamaan dan saling menguatkan. Peranti pertama meminta kita untuk melibatkan kesadaran historis dalam setiap pembacaan atas teks-teks al-Qur’an. Bahwa ia tidak turun di ruang hampa. Ia tidak bicara sendirian. Ia berdialog dan berdialektika dengan masyarakat dengan segala dinamika dan setting sosialnya.

Sedang peranti kedua menuntut kita untuk berkesadaran bahwa segenap makna dan pesan al-Qur’an dikemas dalam kata-kata bahasa Arab. Bahasa Arab yang mengemas atau membingkai segenap makna dan seluruh pesan al-Qur’an itu bukan bahasa Arab “asal-asalan”, melainkan bahasa Arab dengan tingkat dan nilai sastra luar biasa tinggi dan besar.

Saya percaya bahwa kesadaran metodologis yang dimiliki oleh al-Khuli adalah kesadaran yang sama yang dimiliki oleh Hamka ketika menulis Tafsir al-Azhar. Hamka sadar bahwa salah satu kemukjizatan al-Qur’an terletak pada aspek kesusastraannya, di saat sama beliau juga menulis tafsir dalam kemasan kata-kata dan ungkapan yang kental dengan nilai-nilai sastra kelas tinggi. Dan sahabat saya, Dr. Hasani Ahmad Said, penulis buku Corak Sastra Tafsir Al-Qur’an: Studi Atas Tafsir Al-Azhar Karya Hamka  ini, telah berhasil menunjukkan bagaimana Hamka memandang al-Qur’an sebagai Kitab Sastra dan bagaimana Hamka mengemas tafsirnya dengan kemasan sastrawi bermutu tinggi.

Tulungagung, 12 Oktober 2021

Prof. Dr. H. Abad Badruzaman, Lc., M.Ag.
Guru Besar Tafsir UIN SATU Tulungagung & Wakil Rektor UIN Satu Tulungagung

 

 

 

Tags: , ,

Bagikan ke

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar

Saat ini belum tersedia komentar.

Silahkan tulis komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan kami publikasikan. Kolom bertanda bintang (*) wajib diisi.

*

*

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Periksa
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah: